Kamis, 02 April 2009

Pernikahan antara harap, cemas dan kepasrahan

Namanya Nusa, sudah enam tahun ia menikah dengan seorang wanita yang menurut pengakuannya tidak termasuk wanita impiannya. Ya kurang memenuhi syarat pribadi lah. Tapi dengan lika-liku jodoh, akhirnya mau tidak mau ia terima dan menikahlah ia.

Ia jalani kehidupan pernikahannya dengan usaha penuh untuk menerima segala ketentuan Tuhan. Setahun ia jalani, tapi dambaan setiap insan setelah menikah adalah punya anak sebagai generasi penerus kehidupan, tak kunjung ada tanda-tandanya. Ia berusaha tuk sabar, mungkin belum waktunya. Dua tahun berlalu, belum tampak sang isteri mual-mual. Pernah sih mual-mual, eh setelah dicek hanya masuk angin saja. Tiga tahun, empat tahun, waktu yang cukup lama bagi seorang yang menunggu sesuatu yang dinanti. Menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak mengasikkan, itu kata kebanyakan orang, dan memang iya sih.

Mulailah beban mental bertambah, secara pribadi ia dan isteri tetap berusaha menerima “ketentuan” Tuhan tersebut, tapi yang menyakitkan adalah perkataan orang lain. Pada saat lebaran, berkunjung ke sanak saudara, yang ditanya adalah anak. Sebuah pertanyaan yang biasa saja bagi orang yang sudah punya anak, tapi bagi Nusa, itu adalah bagaikan sebuah gunung yang ditimpakan kepada dirinya. Apalagi sang penanya setelah tahu belum ada anak, malah menambahkan dengan kata-kata, “Isteri luh emang luh ga apa-apain? Luh emang kaga bisa apa? Kalo ga bisa sinih gue ajarin! Dan yang lebih “mengiris” hati adalah “luh mandul kali?”

Tahun kelima hampir terlewati, tapi sang anak tak juga kunjung tiba. Hampir saja, setiap lebaran tiba, ia dan isterinya tidak ingin keluar dari rumah. Ada sih orang-orang yang baik hati, dengan membesarkan hati Nusa dan Isteri. Berusahalah ia dan isteri ke dokter, tradisonal, alternatif, orang pintar dan kemana saja yang kata orang; manjur, pasti di kunjungi. Ya itu hasilnya belum juga tampak.

Kadang-kadang terlontar juga dari lisan sang isteri, agar sang suami mencari isteri lain. Tapi sayangnya sang isteri memberi syarat, bila nanti punya anak dari isteri yang kedua, tolong ceraikan dia. Ia ingin menambah isteri, tapi ia menyadari kemampuan dirinya dari segi finansial, tidak mungkin ia dapat memikul beban dua orang isteri. Dan ketika sang isteri pasrah, menyerahkan semuanya kepadanya (boleh kawin lagi) malah ia takut.

Tahun keenam, adalah tahun terberat bagi hidupnya. Akhirnya terjadilah percekcokan dengan isteri. Karena emosi yang tak terbendung ia memulangkan sang isteri ke rumah mertuanya (orang tua isteri). Akhirnya No Happy Ending. Bercerai!!! Nauzu billah.

Ini hanyalah satu kejadian dari banyak kejadian perkawinan. Anak memang dambaan setiap orang yang telah menikah. Namun banyak pula suami-isteri yang tidak punya anak, kehidupannya langgeng sampai kakek-nenek, artinya Happy-Happy aja kehidupannya. Dan banyak contoh dari Nabi-Nabi terdahulu yang lama tidak punya anak. Seperti Nabi Ibrahim, cukup lama ia tidak dikarunia anak dari Isteri pertama, Siti Sarah. Baru punya anak ketika beliau menikah dengan Siti Hajar, yang lahir darinya Ismail AS. Tidak lama kemudian, lahirlah Ishak AS dari Siti Sarah.

Nabi Zakaria setelah beruban dan sepuh serta sang Isteri yang mandul. Barulah Allah karuniakan baginya anak yang bernama Yahya. Dan itu merupakan kekuasaan Allah s.w.t. dan memang anak adalah sebuah kekentuan dan kekuasaan Allah s.w.t. manusia tidak mempunyai kuasa apa-apa. Kadang-kadang ada suami-isteri diberi anak perempuan, tanpa anak lelaki, padahal anaknya sudah lima. Namun perempuan semua. Ia “nambah” lagi dengan harapan yang keenamnya adalah laki-laki, tapi mau dikata apa ternyata yang “keluar” perempuan juga. Ya sudah lebih baik diterima saja. Memang semuanya kekuasaan Allah. Dan sebaliknya ada suami-isteri sudah punya ana laki tiga orang, ingin sekali ia punya anak perempuan. Tapi mau apa dikata, itu pemberian Tuhan.

Dari itu kita selaku manusia harus menerima dengan lapang dada dan penuh keimanan kepada Allah, apapun yang Allah berikan. Dan hal ini telah dipertegas oleh Allah dalam Al-Qur’an yang artinya :

Kepunyaan Allah –lah kerjaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya). Dan Dia menjadikan mandul (tidak memiliki anak) siapa yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy-syura : 49-50)

Ayat tersebut menegaskan bahwa keluarga yang tidak berketurunan, suka atau tidak suka, rela atau terpaksa harus menerima kenyataan yang dialaminya, apapun kata orang, ia tetap harus menerimanya sebagai takdir dan kekuasaan Allah SWT. Semua harus tetap disyukuri, karena ayat di atas ditutup dengan pernyataan bahwa Allah-lah yang mengetahui dan berkuasa atas segala sesuatu.

Semoga bermanfaat! Mohon komentarnya! Ok!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar